Artikel, Opini|

Gambar: MM IHF

Sering kita mendengar ungkapan tidak beretika atau tidak ada etika. Dalam bahasa nonformal yang kekinian, ungkapan tersebut lebih akrab dengan istilah gak ada akhlak atau ungkapan-ungkapan lain yang semakna. Apalagi, saat ini soal etika sedang menjadi perbincangan hangat di tanah air.

Etika tidak hanya bersifat personal, tetapi juga bersifat kelembagaan yang dikodifikasikan menjadi kode etik kelembagaan. Saat ini, hampir semua profesi yang diakui di dunia telah mempunyai sistem kode etik dan kode perilaku, termasuk di Indonesia. Sebut saja, Kode Etik Jurnalistik, Kode Etik Advokat, Kode Etik Kedokteran, dan Kode Etik Guru Indonesia. 

Meskipun demikian, setiap orang memiliki pandangan masing-masing terhadap seberapa penting etika. Ada yang menganggap enteng, ada yang menganggap kedudukannya biasa saja, tetapi ada pula yang menganggap etika merupakan sesuatu yang harus dijunjung tinggi. Tentunya, perbedaan pandangan tersebut dipengaruhi oleh pemaknaan terhadap etika itu sendiri.

Memaknai apa itu etika agaknya bukanlah sebuah pekerjaan yang mudah. Terlebih lagi, terdapat istilah yang mirip, yaitu etiket—biasanya penggunaan kata tersebut dicampuradukkan begitu saja dengan istilah etika. Belum lagi, sering dikaitkan pula dengan terminologi karakter, moral, akhlak, bahkan moralitas dan digunakan secara bergantian (intercangible) sehingga kerap membingungkan.

Kedudukan Etika

Etika terkadang didefinisikan sebagai sopan santun. Definisi ini sebenarnya lebih tepat digunakan untuk menjelaskan etiket, bukan etika. Meskipun sama-sama berakar dari bahasa Inggris (etika berasal dari kata ethics, kemudian etiket berasal dari kata etiquette), kedua hal tersebut tidaklah sama. Terlebih lagi melihat dari sifat keduanya yang jelas berbeda, yaitu etiket bersifat relatif, sedangkan etika bersifat absolut. Menyamakan istilah etika dengan etiket serta menafsirkannya sebagai sesuatu yang relatif mungkin menjadi sebab mengapa sebagian orang menganggap etika itu sesuatu yang biasa saja atau bahkan sesuatu yang remeh.

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) VI, etika diartikan sebagai ilmu tentang apa yang baik dan apa yang buruk dan tentang hak dan kewajiban moral (akhlak). Berdasarkan pengertian ini, etika tidak berfungsi dalam suasana yang iseng, tetapi memiliki konteks yang serius karena merupakan sebuah ilmu. Hal ini ditegaskan juga oleh Prof. Dr. Juhaya S. Praja dalam bagian Kata Pengantar bukunya yang berjudul Aliran-Aliran Filsafat dan Etika (2003), “Tindakan manusia sangat dipengaruhi oleh aliran etika yang dipahaminya sehingga mempelajari etika dianggap sangat berguna untuk memahami bagaimana manusia bertindak.”

Kees Bertens, seorang tokoh etika Indonesia, dalam bukunya yang berjudul Etika (2007: 6) mengutamakan definisi etika yang lebih mendasar dan tajam. Ia menjelaskan bahwa etika adalah nilai benar dan salah yang dianut suatu golongan atau masyarakat. Etika bisa dipakai dalam arti nilai-nilai dan norma-norma moral yang menjadi pegangan bagi seseorang atau suatu kelompok dalam mengatur tingkah lakunya. Secara singkat, arti ini bisa dirumuskan juga sebagai sistem nilai serta bisa berfungsi dalam hidup manusia, baik perorangan maupun pada taraf sosial (kode etik).

Dalam buku tersebut, Bertens dengan terang membedakan antara etika dan etiket. “Etiket bersifat relatif. Yang dianggap tidak sopan dalam satu kebudayaan, bisa saja dianggap sopan dalam kebudayaan lain …. Lain halnya dengan etika. Etika jauh lebih absolut. ‘Jangan mencuri’, ‘jangan berbohong’, ‘jangan membunuh’, merupakan prinsip-prinsip etika yang tidak bisa ditawar-tawar atau mudah diberikan ‘dispensasi’.” (2007: 10).

Bagi masyarakat tertentu, misalnya masyarakat Barat, etika memiliki tempat tersendiri, khususnya dalam ranah politik. Etika benar-benar ditaati meskipun mereka memahami bahwa melanggar etika tidak selalu berarti melanggar hukum positif. Karena itu, tidak jarang kita menyaksikan para pejabat publik di sana mengundurkan diri dari jabatannya setelah sebelumnya melanggar etika. Kebiasaan ini berangkat dari keyakinan bahwa demokrasi tidak cukup dibangun hanya berdasarkan hukum positif, tetapi juga berdasarkan prinsip-prinsip etika.

Jadi, seberapa penting etika bagi seseorang? Bergantung pada seberapa dalam ia memaknai etika itu sendiri. Kembali pada perspektif masing-masing. Yang jelas, memaknai ialah aktivitas berpikir sehingga pelakunya tidak boleh dirundung, dilarang, apalagi dihukum. Indonesia adalah sebuah negara demokrasi maka sudah seharusnya menjunjung tinggi kebebasan berpikir yang merupakan hak dasar setiap manusia Nusantara.

Walaupun begitu, konsekuensinya tentu saja ada. Terlebih lagi, jika dalam konteks sebagai sebuah bangsa. Apa yang menjadi pilihan kolektif kita terhadap kedudukan etika, itulah yang nantinya menjadi identitas keetikaan kita yang akan dikenal.

Sebagai contoh, orang Jepang di mana-mana selalu menjunjung tinggi kebersihan. Aksi bersih-bersih stadion pada laga pembuka turnamen Piala Dunia 2022 lalu, dilakukan oleh suporter Jepang secara sukarela. Meskipun sebenarnya tidak ada aturan yang dilanggar oleh para suporter timnas Jepang jika mereka meninggalkan sampah di tribun penonton. Begitu pula, tidak ada aturan yang mengharuskan para pemain timnas Jepang untuk meninggalkan ruang ganti dalam keadaan bersih dan rapi sebagaimana mereka memasukinya kali pertama. Namun, itu pilihan mereka sendiri, pilihan yang membuat mereka dikenal, bahkan dijadikan teladan dalam hal menjaga kebersihan.

Penulis: Teuku Zulman Sangga Buana

Editor: Dewanti Nurcahyani

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Close Search Window