Esai|

Foto: Freepik

IHF.OR.ID, Depok – Esai ini diterbitkan di Suara Pembaruan hampir dua dekade lalu, bertepatan dengan peringatan Hari Antikorupsi Sedunia (Hakordia) untuk kali pertama, 9 Desember 2004. Dalam tulisannya, penulis menaruh sedikit harapan kepada para pemimpin bangsa yang akhirnya dipilih secara langsung untuk membenahi “benang kusut” korupsi di Indonesia.

Mereka diharapkan dapat menjadi natural nobility, yaitu elite-elite yang mempunyai otoritas dan integritas moral yang tinggi. Mereka diharapkan akan berhasil menghilangkan perilaku korupsi atau paling tidak menguranginya secara nyata.

Akan tetapi, fakta yang terlihat hingga kini tampaknya jauh dari harapan itu. Pemberantasan korupsi terkesan basa-basi. Karena itu, tulisan Ibu Ratna Megawangi ini masih sangat relevan untuk dibaca serta dihayati.

***

Penahanan Abdullah Puteh dua hari yang lalu (7/12/2004), mempunyai momentum tepat, karena pada hari ini Presiden Susilo Bambang Yudhoyono akan menandatangani Keppres tentang rencana pemberantasan korupsi di Indonesia. Rakyat memang sedang menunggu realisasi keseriusan pemerintah dalam pemberantasan korupsi yang sudah begitu membudaya di negeri tercinta ini.

Banyak alasan mengapa pemerintah harus serius dalam hal ini. Di samping janji pemerintahan SBY-Kalla untuk mengadakan perubahan ke arah pemerintahan yang bersih, Indonesia juga berada dalam “tekanan” internasional untuk memberantas korupsi, apalagi Indonesia sudah terkenal sebagai salah satu negara terkorup di dunia.

Pada konferensi PBB di Merida, Mexico tahun lalu, kira-kira 110 negara menandatangani sebuah konvensi untuk memerangi korupsi, dan seluruh negara diminta meratifikasinya. Peringatan Hari Anti-korupsi Sedunia pada tanggal 9 Desember 2004 adalah baru pertama kali dilakukan, dan sudah mendapatkan respon positif dari banyak negara, termasuk Indonesia, yaitu dengan dikeluarkannya Keppres Pemberantasan Korupsi, serta rencana ikutnya Indonesia dalam menandatangani Nota Kesepakatan (MoU) antara badan-badan Anti-korupsi se-ASEAN dalam kerja sama memerangi korupsi pada tanggal 14 Desember mendatang.

Bagi saya, hal ini menjadi begitu menarik untuk dicermati karena himbauan PBB untuk meratifikasi konvensi anti-korupsi ternyata ditujukan kepada segenap pemerintahan di dunia. Artinya, mereka yang mempunyai kekuasaan diharapkan dapat menghapuskan korupsi.

Padahal ada sebuah pendapat yang sering disitir, yaitu yang dilontarkan oleh Lord Acton, “Power tends to corrupt, absolute power corrupt absolutely.” Kalau menurut Tolkien yang mengarang cerita Lord of the Rings, kekuasaan itu disimbolkan sebagai sebuah cincin yang mempunyai kekuatan luar biasa sehingga dapat membuat orang yang memakai cincin tersebut bisa menjadi begitu korup.

Senada dengan pernyataan Acton, F.A Hayek pernah membahas masalah ini dalam bukunya yang terkenal, The Road to Serfdom, pada bab 10 yang diberi judul “why the worst get on top“. Menurut Hayek, orang-orang yang moralnya buruk sering berhasil kekuasaan, sehingga ketika berkuasa pasti korup.

Dengan adanya kekuasaan yang sentralistik (menurut Hayek, fasisme, sosialisme termasuk big government) maka rakyat bisa menjadi “tidak berdaya” dan tunduk kepada kekusaan yang korup. Nah, inilah yang menarik. Kalau kekuasaan menurut Acton, Tolkien, dan Hayek adalah cenderung korup, maka bagaimana kita dapat berharap para pemegang kekuasaan itu dapat memberantas korupsi?

Kalau melihat kenyataan di Indonesia selama ini, memang terlihat sekali perilaku korup para pemegang kekuasaan, baik di tingkat terlihat legislatif maupun eksekutif. Termasuk juga perilaku korup para pemimpin di belahan dunia lainnya.

Rezim orde baru misalnya, memang berhasil dalam membudayakan perilaku korupsi ke hampir seluruh jajaran birokrasi termasuk dalam berbagai segi kehidupan masyarakat. Hal ini menjadi seperti lingkaran setan, di mana pemimpin yang korup dipilih oleh masyarakat sehingga bisa saja ini merupakan refleksi dari masyarakat yang korup atau masyarakat yang belum tercerahkan karena mudah “termakan” oleh propaganda/kampanye pemimpin yang korup.

Sedangkan para pemimpin akan memberikan contoh moral yang korup kepada masyarakatnya, sehingga perilaku korup akan terus dibudayakan. Dan begitu seterusnya di mana pemimpin yang korup akan terus berkuasa.

Kalau sebelumnya presiden dipilih oleh para anggota legislatif, maka presiden yang korup adalah refleksi dari para anggota legislatif yang korup. Namun belum tentu para anggota legislatif yang terpilih adalah refleksi dari mayoritas rakyat yang korup, karena rakyat tidak memilih orangnya, tetapi partainya.

Jadi, seperti kisah dalam Lord of the Rings, kalau sifat Sauron (Dark Lord) sudah menguasai masyarakat, maka masyarakat akan brutal dan korup. Mereka yang tidak korup adalah Frodo, manusia hobbit, walaupun memegang cincin kekuasaan tetapi tidak korup, atau Gandalf orang bijak yang tidak mau memegang kekuasaan sama sekali.

Terus terang, selama ini saya bersikap pesimistis terhadap kemampuan pemerintah untuk membenahi “benang kusut” korupsi ini, karena sulitnya menemukan manusia seperti Frodo dan Gandalf. Hal ini sering menjadi perdebatan “sengit” antara saya dan suami saya. Namun rasa pesimistis saya bisa berkurang setelah saya membaca tulisan Wilhelm Ropke dalam bukunya, A Humane Economy, yang mengatakan bahwa setiap masyarakat harus memiliki para nobilitas naturalis (natural nobility) agar nilai-nilai moral dapat dipertahankan. Yaitu adanya para elite pria dan wanita yang mempunyai otoritas dan integritas moral yang tinggi, yang dapat menjadi panutan moral bagi rakyatnya.

Dengan adanya pemilihan langsung, rakyat dapat menilai siapa pemimpin yang dianggap mempunyai integritas moral sehingga dapat menentukan pilihannya yang sesuai dengan hati nurani.

Ropke menuliskan pendapatnya pada halaman 130-131 dalam bukunya tersebut, bahwa para nobilitas naturalis ini adalah para aristocrat of public spirit yang bermoral; yaitu mereka yang tidak tamak, cerdas akal dan budi, tidak berpihak, berani menegakkan kebenaran dan hukum, mempunyai kehidupan pribadi yang tidak tercela, sehingga mereka mampu membuat nilai-nilai kebajikannya menjadi nation ‘s conscience atau nurani bangsa.

Tentunya para nobilitas naturalis yang dijadikan panutan moral ini akan mencerahkan akal budi rakyat, yang selanjutnya Rakyat akan memilih pemimpin yang mempunyai integritas moral. Karena menurut Ropke, kelanggengan sebuah bangsa yang berdaulat sangat ditentukan oleh apakah bangsa tersebut dapat menghasilkan jumlah yang cukup para nobilitas naturalis tersebut.

Negara Singapura yang selalu berada dalam urutan teratas dalam hal clean government, adalah refleksi dari masyarakat Singapura yang relatif berhasil menciptakan para nobilitas naturalis, sehingga Singapura juga selalu unggul dalam hal indikator-indikator sosial lainnya (rendahnya angka kriminalitas, tertib, dan bersih lingkungan).

Tentunya kita belum tahu apakah pemerintahan SBY-Kalla adalah para nobilitus naturalis yang dapat mencerahkan nurani bangsa yang sudah redup ini. Karena ini semua harus dibuktikan oleh komitmen dan tindakan nyata, serta apakah pemerintah memang nantinya berhasil menghilangkan perilaku korupsi atau paling tidak berkurang secara nyata.

Namun paling tidak, rakyat sudah diberikan hak untuk memilih pemimpinnya, dan biarlah rakyat menilai dengan kritis apakah mereka mempunyai para nobilitus naturalis yang dapat dipercaya. Kekuasaan sekarang sudah di tangan rakyat, dan tugas para pemimpin adalah melayani rakyat. Artinya, tuntutlah terus para pemimpin untuk menjadi panutan moral, dan tentunya para pemimpin harus melayani tuntutan tersebut.

Mudah-mudahan dalam waktu dekat ini wajah Indonesia bisa menjadi terang kembali dan dihormati oleh bangsa-bangsa di dunia ini.

Penulis: Ratna Megawangi

Editor: Teuku Zulman Sangga Buana

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Close Search Window