Refleksi Akhir Tahun: Brain Rot dengan Segala Aspeknya yang Berkelindan
Awal bulan ini, tepatnya 2 Desember 2024, Oxford Dictionary menetapkan istilah brain rot (pembusukan otak) sebagai Oxford Word of the Year for 2024. Kata ini tidak serta-merta datang begitu saja, faktanya, penggunaan istilah ini meningkat hingga 230 persen pada periode tahun 2023—2024. Lalu, apa arti dari brain rot itu sendiri dan bagaimana istilah tersebut muncul?
Mengutip dari Oxford Dictionary, brain rot didefinisikan sebagai kemerosotan kondisi mental atau intelektual seseorang akibat mengonsumsi konten daring tidak berkualitas dan bernilai rendah secara berlebihan, khususnya di media sosial. Istilah tersebut sebenarnya bukan istilah baru. Kata brain rot kali pertama muncul pada tahun 1854 dalam buku Walden karya Henry David Thoreau.
Di dalam tulisannya, Thoreau menggunakan istilah brain rot untuk mendefinisikan kritiknya terhadap kecenderungan masyarakat yang lebih menghargai ide-ide sederhana atau dangkal dibandingkan pemikiran-pemikiran atau ide-ide yang kompleks. Ia pun melihat hal ini sebagai indikasi penurunan dalam mental dan intelektual.
“Ketika Inggris berusaha keras untuk menyembuhkan penyakit busuk kentang, tidakkah ada usaha untuk menyembuhkan penyakit busuk otak—yang menyebar jauh lebih luas dan mematikan?”
— Walden, Henry David Thoreau
Istilah brain rot kini memiliki makna baru pada era digital, terutama selama 12 bulan terakhir. Frasa ini awalnya populer di platform media sosial, khususnya TikTok hingga akhirnya digunakan secara lebih luas, seperti dalam jurnalisme, di tengah kekhawatiran masyarakat terhadap dampak negatif dari konsumsi konten daring yang berlebihan.
Fenomena brain rot ini nyatanya juga memberikan dampak yang serius bagi kesehatan mental, khususnya bagi anak-anak dan remaja. Makin banyak hasil penelitian yang menunjukkan bahwa mengonsumsi konten digital secara berlebihan berimplikasi terhadap kesehatan mental.
Sebuah studi tahun 2023 di BMC Public Health mengaitkan screen time yang lebih lama pada remaja dengan berbagai masalah kesehatan mental, termasuk depresi, gejala attention-defisit, dan gangguan perilaku. Selain itu, studi yang diterbitkan Cyberpsychology, Behavior, and Social Networking mengungkapkan keterkaitan antara keterlibatan dalam platform media sosial, seperti TikTok dan Instagram dan peningkatan depresi serta kecemasan.
Salah satu pusat perawatan kesehatan mental di AS, Newport Institute, bahkan telah mengeluarkan panduan untuk mengenali dan menghindari brain rot. Dalam situsnya, Newport Institute menyebut brain rot atau pembusukan otak sebagai kelesuan kondisi mental yang mengurangi rentang perhatian dan penurunan fungsi kognitif akibat penggunaan gawai secara berlebihan. Pembusukan otak bisa muncul dalam sejumlah perilaku, seperti bermain gim video secara kompulsif meski tidak kecanduan dan berselancar di dunia maya tanpa tujuan (zombie scrolling).
Fenomena Brain Rot di Indonesia
Fenomena brain rot tampaknya sangat berkaitan erat dengan masyarakat Indonesia, khususnya generasi muda. Berdasarkan data yang diterbitkan oleh firma riset Exploding Topics dalam laporan yang berjudul “TikTok User Age, Gender, & Demographics (2024)”, warganet Indonesia adalah audiens TikTok paling lama sedunia dengan waktu rata-rata 41 jam 35 menit setiap bulannya, mengalahkan warganet Inggris (40 jam 50 menit), Chili (40 jam 1 menit), Meksiko (39 jam 58 menit), Thailand (39 jam 14 menit), dan Amerika Serikat (38 jam 2 menit).
Data tersebut dapat menggambarkan seberapa tinggi tingkat digital engagement masyarakat Indonesia, khususnya terhadap konten-konten TikTok yang kerap menghadirkan konten dengan kualitas dan nilai yang dangkal atau tidak bermakna. Dengan screen time yang begitu lama, besar kemungkinkan generasi muda kita juga mengalami fenomena pembusukan otak. Lantas, apa yang bisa dilakukan untuk menghindari brain rot?
Manusia Tidak Seharusnya Dikontrol Teknologi
Pada era digital saat ini, komunikasi dan konsumsi digital erat kaitannya dengan kehidupan dan seakan menjadi keniscayaan. Kondisi zaman menuntut kita untuk menyesuaikan diri dengan teknologi yang ada. Namun, tanpa kita sadari, budaya digital yang mulai mengakar ini jika tidak disikapi dengan bijak akan menyebabkan adiksi dan mendehumanisasi manusia itu sendiri.
Manusia tidak seharusnya dikontrol oleh teknologi. Manusialah yang seharusnya mengontrol teknologi tersebut. Hal ini yang semestinya bisa menjadi pandangan dasar untuk memulai berkegiatan digital secara sehat sehingga brain rot tidak akan terjadi.
Lalu, bagaimana jika kita sudah terjebak dalam rutinitas yang mengarah pada brain rot? Prosesnya mungkin tidak mudah, namun ada beberapa hal yang bisa dilakukan untuk meminimalkan fenomena brain rot terjadi. Yang pertama, kurangi atau batasi screen time. Tidak harus dimulai dengan perubahan yang besar, bisa dengan menguranginya mulai dari 15 menit setiap harinya. Jika sudah terbiasa, tingkatkan menjadi 30 menit dan seterusnya.
Yang kedua, mencari substitusi atau pengganti kegiatan untuk menghadirkan fokus dan mendistraksi konsumsi konten media sosial yang berlebihan. Bisa dengan melakukan berbagai hobi dan kegiatan bermanfaat, seperti berolahraga, menonton film, membaca, dan merajut. Terakhir, berkomitmen untuk mengurangi keingintahuan terhadap semua hal yang trending atau biasa disebut dengan FOMO (fear of missing out). Sifat FOMO menghadirkan perasaan penasaran dan cemas sehingga meningkatkan screen time dan ketergantungan terhadap media sosial.
Hadirnya istilah brain rot menjadi cerminan dari kondisi masyarakat saat ini. Fenomena ini sekaligus menjadi ironi sebab digaungkan kembali oleh generasi yang nyatanya memikul dampak paling berat dari brain rot itu sendiri.
Penulis: Maulady Virdausy Fahmy
Editor: Teuku Zulman Sangga Buana
- Tags: Brain Rot, Media Sosial, Pembusukan Otak, Refleksi Akhir Tahun
Indonesia Heritage Foundation
Jalan Raya Bogor Km. 31 No. 46
Tugu, Cimanggis, Depok
Jawa Barat 16451
Telepon: (021) 8712022
Pos-el: [email protected]
PROGRAM
IMPAK
Indonesia Heritage Foundation (IHF)
Copyright © 2023 - Indonesia Heritage Foundation | Redaksi
2 Replies to “Refleksi Akhir Tahun: Brain Rot dengan Segala Aspeknya yang Berkelindan”
Very well written, Vie.
Ditunggu tulisan2nya lagi 😍
Memang di era digital ini harus lebih bijak dalam penggunaan dan pengawasan sehingga brain rot tidak terjadi