Waspada Game Online! Pintu Masuk Kekerasan Seksual terhadap Anak

Kekerasan seksual dapat dialami siapa saja, baik anak, remaja, maupun orang dewasa. Siapa pun bisa menjadi korban—laki-laki dan perempuan—baik dari kalangan ekonomi rendah, menengah, ataupun kelas atas. Pelakunya juga bisa siapa saja, orang dekat, seperti keluarga kerabat, teman, kolega, bahkan orang asing yang sama sekali tidak dikenal.

Survei “Pengalaman Hidup Perempuan Nasional Tahun 2024” oleh Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA) menyebutkan prevalensi kekerasan seksual pada perempuan berusia 15—64 tahun dalam setahun terakhir sebesar 5,1 persen. Kemen PPPA juga menyebut bahwa prevalensi kekerasan seksual terhadap anak pada 2024 lebih tinggi dibandingkan pada 2021.

Prevalensi kekerasan seksual kepada anak laki-laki berusia 13—17 tahun sepanjang hidup yang sebesar 3,65% pada tahun 2021 naik menjadi 8,34% pada 2024. Adapun prevalensi kekerasan seksual kepada anak perempuan dengan usia yang sama sepanjang hidup yang pada 2021 berkisar 8,43% naik menjadi 8,82% pada tahun ini.

Kekerasan seksual terhadap anak tidak hanya terjadi secara fisik, namun telah merambah juga ke ranah daring. Game online yang dapat dimainkan secara bersamaan menjadi salah satu pintu terjadinya kasus kekerasan seksual terhadap anak di bawah umur. Saat bermain bersama itulah anak dapat mengakses pertemanan dengan orang dewasa yang tidak dikenal (orang asing). Selain risiko kecanduan dan terpapar konten pornografi, game online juga menjadi kedok para predator anak mencari korban baru.

Data dari We Are Social, sebuah agensi media sosial dari Amerika Serikat, menunjukkan bahwa Indonesia ada di peringkat ketiga sebagai negara dengan jumlah pemain game online terbanyak di dunia. Data tersebut juga menunjukkan bahwa per Januari 2022 lebih dari 90% pengguna internet di Indonesia yang berusia 16—64 tahun merupakan pemain game online.

Kedekatan dengan Predator Anak

Kedekatan yang terjalin saat bermain game online bersama dapat berlanjut ke pertemuan kopi darat dengan berbagai iming-iming hadiah menggiurkan untuk calon korban. Kemampuan komunikasi dan proses berpikir anak yang masih berkembang rentan dimanipulasi oleh orang dewasa sehingga dapat berujung pada kekerasan seksual.

Predator anak dapat melancarkan aksinya dengan mudah karena menggunakan nama samaran sehingga tidak diketahui identitas aslinya. Dengan status anonim mereka akan terbebas dari jerat hukum dan dapat dengan bebas berkomunikasi, berteman, dan berkencan dengan anak, termasuk menyimpan dan mendistribusikan pornografi anak (korban diminta mengirimkan foto atau video dengan bagian tubuh tertentu yang terbuka melalui kolom pesan).  

Kekerasan seksual dapat memengaruhi fisik, psikiatris, dan kehidupan sosial korban. Mirisnya, banyak korban tidak dapat melaporkan apa yang dialaminya kepada orang lain atau pihak yang berwenang. Penyebabnya beragam, pelaku bisa jadi adalah orang dekat atau orang yang berkuasa, adanya stigma masyarakat (aib), serta hambatan psikologis (takut ancaman, malu, dan rasa bersalah).

Pada ranah hukum, kasus kekerasan seksual sering kali blunder karena tidak adanya bukti. Akhirnya, korban menarik tuntutannya, bersepakat dan menerima sejumlah uang dari pelaku, atau berujung pada pernikahan.

Literasi Digital

Orang tua perlu melakukan pendampingan dan membekali anak dengan pengetahuan literasi digital. Center for Digital Society, sebuah pusat kajian di Universitas Gadjah Mada yang berfokus pada isu masyarakat digital, mendefinisikan literasi digital sebagai bentuk kemampuan atau keterampilan seseorang dalam menggunakan dan memanfaatkan media digital, dari media sosial, situs web, video daring, aplikasi seluler, hingga game online.

Melalui literasi digital, anak didorong agar tidak hanya mampu mengoperasikan peralatan teknologi digital, tetapi juga memanfaatkannya dengan tepat. Hal ini mencakup kemampuan bersikap kritis dan menjaga privasi diri di dunia digital.

Orang tua perlu mengajarkan pentingnya keamanan data pribadi saat mengakses aplikasi atau game online serta bagaimana etika di dunia digital, ketika berinteraksi dengan orang yang hanya dikenal di dunia maya. Pada konteks game online, orang tua wajib memberi batasan waktu screen time dan memberi pilihan permainan yang aman. Akan lebih baik, jika orang tua bisa mendampingi anak saat bermain game online. Aktivitas ini akan menumbuhkan kepercayaan anak terhadap orang tua serta mengurangi dampak negatif dari aktivitas game online.

Di sekolah, guru dapat mengajarkan literasi digital, mendorong kreativitas anak memanfaatkan media digital secara bijak. Guru juga perlu aktif mengawasi peredaran konten media sosial yang dapat memengaruhi perilaku anak, seperti konten kekerasan, pornografi, dan ujaran kebencian. Dengan literasi digital yang baik, anak akan memiliki kontrol diri sehingga dapat terhindar dari ancaman kejahatan.

Penulis: Ari Saptarini

Editor: Teuku Zulman Sangga Buana

 

Rujukan:

 

Andhika Ajie Baskoro, dkk. 2024. “Waspadai Aksi Bejat Pedofil di Game Online”. The Conversation.

 

Muammar Syarif. 2023. “Kekerasan Seksual Berbasis Elektronik: Bagaimana UU TPKS Melindungi Korban. The Conversation.

2 Replies to “Waspada Game Online! Pintu Masuk Kekerasan Seksual terhadap Anak”

  1. Muhammad rizki berkata:

    Sebenernya tergantung peranan orang tua dalam mengawasi anak saat bermain game knline, mungkin karna kurangnya pengawasan kecanduan game online terjadi pada anak… Seharusnya org tua dapat berperan aktif dalam tumbuh kembang anak..

    • admin_ihf berkata:

      Betul sekali, Pak. Orang tua sangat berperan penting dalam hal tersebut. Kedekatan anak dengan orang tuanya adalah kunci untuk melindungi anak-anak dari kejahatan yang mengancam. Sasaran para penjahat tersebut adalah anak-anak yang kurang perhatian dan kasih sayang dari kedua orang tuanya.😊

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Close Search Window