“Jangan bilang kah, tapi bilang droeneuh.” Dalam bahasa Aceh, kata kah berarti kamu dalam makna yang kasar, sedangkan kata droeneuh juga berarti kamu, tetapi dalam makna yang halus. Begitulah ayah saya dahulu sering menegur saya, bahkan teman-teman saya. Beliau menegur kami ketika kami lebih memilih diksi yang kasar saat berbicara satu sama lain.
Itulah kenangan yang paling saya ingat tentang almarhum ayah saya. Beliau menaruh perhatian yang begitu besar pada moral. Sebegitu seringnya, sampai-sampai beliau sendiri sadar dan sering menafikan (disclaimer) seperti ini, “Memang sekarang belum terasa penting, tapi suatu saat nanti kamu akan tahu betapa pentingnya hal ini.”
Jujur saja, pada waktu itu saya tidak begitu yakin akan pentingnya perkara ini. Para guru di sekolah tidak begitu menekankannya. Seingat saya, nasihat-nasihat tentang pentingnya berbuat baik banyak disampaikan hanya sampai jenjang sekolah dasar. Makin tinggi jenjang sekolah, perihal berbau karakter itu makin jarang dibicarakan dengan serius, terutama saat kuliah.
Ketidakseriusan tersebut paling terlihat dalam pelaksanaan Ujian Nasional (UN). Ada sekolah yang terlibat aktif dalam kecurangan kelulusan UN. Hanya sampai jenjang SD, dalam pengalaman saya dan barangkali juga pengalaman kebanyakan kita, guru dan sekolah tidak “membantu” murid-muridnya untuk lulus UN.
Realitas itu membawa Indonesia Heritage Foundation (IHF) yang dalam bahasa Indonesia bernama Yayasan Warisan Nilai Luhur Indonesia sadar bahwa tantangan terbesar pendidikan Indonesia dalam menyongsong abad ke-21 adalah membangun karakter bangsa. IHF mempertanyakan mengapa begitu banyak manusia Indonesia yang sudah mengetahui serta memahami moral dan etika, tetapi tidak menunjukkan perilaku yang sesuai dengan prinsip-prinsip tersebut.
IHF bukan sekadar mempertanyakan, melainkan juga melakukan pengkajian dan pengembangan pendidikan 9 Pilar Karakter serta strategi pendidikan dalam bentuk model pembelajaran yang disebut Pendidikan Holistik Berbasis Karakter (PHBK). Model pembelajaran ini merupakan sebuah ikhtiar yang sungguh-sungguh dalam rangka mencari jalan keluar terhadap kebuntuan itu.
Salah seorang pendiri IHF, Ratna Megawangi, dalam bukunya Pendidikan Karakter: Solusi yang Tepat untuk Membangun Bangsa (2016) juga menyinggung soal cawe-cawe para guru dalam UN. Hal ini menunjukkan bahwa fenomena ini telah terjadi begitu lama, paling tidak sejak Ujian Nasional masih bernama EBTANAS.
“Bahkan adik penulis pernah menceritakan pengalaman anaknya ketika sedang mengikuti ujian EBTANAS di suatu sekolah negeri di Bekasi. Ternyata para guru di sekolah tersebut menyebarkan beberapa jawaban kepada seluruh murid, yang alasannya agar sekolahnya mendapat peringkat tinggi dalam pencapaian rata-rata nilai NEM [Nilai EBTANAS Murni]. Hal ini menunjukkan bahwa para guru yang pasti mengetahui bahwa perbuatan membocorkan jawaban ujian kepada muridnya adalah salah, tetapi ternyata tetap dilakukan (hlm. 134).”
Berfungsinya Pengetahuan tentang Moral secara Efektif
Sehubungan dengan persoalan ini, Ratna Megawangi dalam berbagai kesempatan kerap mengetengahkan urgensi aspek mengetahui (kognitif), mencintai dan menginginkan, serta mengerjakan dalam pendidikan karakter.
Apalagi, aspek kognitif sudah tidak perlu banyak dibicarakan lagi dalam konteks Indonesia. Pendidikan Kewarganegaraan dan Pendidikan Agama sudah ditekankan sejak sekolah dasar hingga perguruan tinggi. Bagi daerah-daerah tertentu, seperti Provinsi Aceh yang menerapkan syariat Islam secara formal, Pendidikan Agama “terasa ada di mana-mana”. Akan tetapi, tidak terlihat perbedaan signifikan dengan wilayah lain di Indonesia, terkait dengan keselarasan antara perilaku dan prinsip moral yang telah diketahui.
Selanjutnya, yang perlu ditekankan, yaitu mengenai dua aspek lainnya. Pertama, aspek kecintaan dan keinginan untuk berbuat baik (loving and desiring the good). Aspek ini disebut oleh Jean Piaget sebagai sumber energi dari berfungsinya pengetahuan tentang moral secara efektif sehingga dapat menghasilkan seseorang yang karakternya konsisten (hlm. 137).
Dalam pandangan Ratna, aspek tersebut merupakan yang paling sulit untuk diajarkan karena menyangkut wilayah emosi (otak kanan). Akan tetapi, hal ini masih bisa ditumbuhkan, bahkan pada remaja tingkat SMA (hlm. 138).
Berlatih Melakukan Perbuatan-Perbuatan Baik secara Terus-Menerus
Aspek kedua, yaitu acting the good atau mengerjakan perbuatan baik. Aspek ini adalah bagaimana kecintaan dan keinginan untuk berbuat baik yang sudah dimiliki sebelumnya dapat diwujudkan dalam tindakan nyata.
Menurut William Patrik, sebagaimana dikutip Ratna Megawangi dalam bukunya. Salah satu penyebab ketidakmampuan seseorang untuk berperilaku baik, walaupun secara kognitif ia mengetahuinya ialah karena tidak terlatih untuk melakukan kebajikan atau perbuatan-perbuatan bermoral (moral action). Karena itu, dalam pendidikan karakter diperlukan latihan dan praktik yang terus-menerus (hlm. 134).
Pengibaratan karakter dengan otot sangat tepat. Membentuk otot agar menjadi kuat membutuhkan latihan yang terus-menerus. Begitu juga dengan karakter, seseorang dapat berkarakter dengan melakukan praktik-praktik serta latihan-latihan secara berkesinambungan dan idealnya dilakukan sejak kecil.
Saya kembali mengingat-ingat apa yang dikatakan ayah saya. Ternyata benar yang beliau katakan, bahwa kelak saya akan memahami betapa pentingnya menyelaraskan perilaku dengan prinsip-prinsip moral. Hal itu pula yang menjadi sebab beliau berulang kali menyampaikannya, sejak saya kecil hingga pada pertemuan-pertemuan terakhir kami. Melemahnya nilai-nilai positif, seperti kesantunan, kejujuran, dan empati pada sebagian kelompok masyarakat saat ini terasa begitu nyata. Di berbagai tempat, kita sedang menyaksikan pengabaian terhadap moral dalam wujud yang belum pernah terlihat sebelumnya.
Penulis: Teuku Zulman Sangga Buana
Editor: Dewanti Nurcahyani