Media sosial adalah tempat yang “aneh”. Di satu sisi, media sosial dapat menjadi tempat sekumpulan orang yang memiliki niat buruk dan berbahaya. Di sisi lain, media sosial dapat menjadi penghubung dengan komunitas baru, teman di masa lalu, dan keluarga yang nyaris terlupakan. Nostalgia muncul ketika menelusuri Instagram atau Facebook. Melihat momen-momen kehidupan dari masa silam, mengingatkan kita akan betapa berharganya hidup sederhana.
Karena itu, sangat masuk akal jika menurut beberapa perkiraan [di negara Inggris], 42% orang tua membagikan foto anak-anak mereka secara daring. Lebih dari 50% dari orang tua tersebut membagikan foto anak-anak setidaknya sebulan sekali. Sebuah laporan tahun 2018 dari komisioner anak, ditemukan bahwa orang tua membagikan sekitar 71 foto dan 29 video anak mereka setiap tahun di media sosial. Rata-rata, pada saat anak berusia 13 tahun, para orang tua telah mengunggah 1.300 foto dan video anak mereka ke media sosial.
Saya dulu termasuk ke dalam kategori itu. Putra saya lahir pada tahun 2015. Sebagai ibu baru, saya ingin sekali orang-orang mengikuti perkembangan kehidupan baru saya yang luar biasa. Saya mengunggah foto putra saya yang sedang di tempat tidur, dibedong dengan rapi, dan tertidur lelap. Saya memosting fotonya yang sedang melihat ke luar jendela, mengagumi salju pertamanya. Saya memosting foto kami berdua, duduk di ayunan di taman London yang indah. Hal ini membuat teman dan keluarga dapat melihat putra saya tumbuh dewasa.
Namun, setelah beberapa tahun berbagi secara rutin, ada sebuah kampanye dari Koalisi Penyelamatan Anak (CRC) yang membuat saya berpikir ulang dan mulai mempertanyakan seberapa banyak kehidupan anak saya yang harus didokumentasikan dan tersedia untuk semua orang. Kampanye Kids for Privacy (privasi anak) yang mereka lakukan merupakan pengingat akan risiko mengekspos momen-momen paling pribadi anak-anak kita secara berlebihan di media sosial. Membaca informasi yang diberikan oleh kampanye ini, kata-kata ‘rentan’, ‘pedofil’, dan ‘predator’ terasa seperti belati.
Untuk kali pertama, saya bertanya kepada diri sendiri: Mengapa saya berbagi? Untuk siapa foto-foto ini? Dan yang lebih penting lagi, siapa saja yang bisa menjangkau foto-foto ini? Setelah foto diposting secara daring, nyaris tidak mungkin untuk mengingat kembali sepenuhnya. Terutama mengingat fitur tangkapan layar dan rekam layar saat ini sudah menjadi aspek yang terintegrasi dalam teknologi modern.
Saya bertanya lagi pada diri sendiri, Apakah anak saya akan senang jika saya berbagi foto dirinya saat ia tumbuh dewasa? Apakah saya melanggar privasinya, bahkan sebelum ia menyadarinya? Dengan mengunggah foto-fotonya ke dalam jaringan, otomatis saya menciptakan rantai data yang melekat padanya yang secara tidak langsung membangun jejak digitalnya—dan saya tidak sepenuhnya memahami implikasinya. Seiring dengan perkembangan teknologi, siapa yang tahu bagaimana data pribadinya tersebut akan digunakan?
Sebagai seorang anak tahun 90-an yang orang tuanya menggunakan kamera saku dan mengirimkan filmnya ke Boots (studio foto) untuk dicetak, foto-foto bayi saya tetap tersimpan dengan aman di antara koleksi album foto fisik. Memang seharusnya begitu. Saya tidak pernah mengalami foto masa kecil saya dibagikan secara daring sehingga saya tidak pernah menghadapi konsekuensinya. Semuanya lebih bersifat pribadi saat itu. Saya ingin hal yang sama terjadi pada anak saya.
Jadi, saya telah menghapus semua foto anak saya dari media sosial. Saya tidak lagi mengizinkan sekolah dan klub olahraganya mengambil fotonya untuk tujuan pemasaran daring. Saya mengatakan kepada anggota keluarga saya untuk berhenti memosting foto-fotonya di akun media sosial mereka. Sebagai gantinya, saya sekarang berbagi momen-momen menarik dengan teman dekat dan keluarga secara langsung melalui pesan pribadi. Cara ini lebih personal dan tentunya lebih aman.
Menjadi orang tua tidak hanya berarti membanggakan anak, tapi juga melindungi anak-anak dari risiko yang tidak perlu. Mengekspos mereka kepada khalayak yang tidak dikenal tidak sepadan dengan banyaknya like atau perhatian yang kita dapatkan.
Artikel ini ditulis oleh Hannah Nwoko dalam bahasa Inggris dengan judul “I regularly shared photos of my son on social media. Then alarm bells started ringing”.
Penerjemah: Teuku Zulman Sangga Buana
Editor: Dewanti Nurcahyani
Sumber: The Guardian
Penafian (disclaimer): Tulisan ini tidak sepenuhnya menggambarkan pandangan redaksi ihf.or.id.