Esai|

Freepik

Pembicaraan seputar karakter Generasi Z atau Gen Z terdengar makin riuh saja, terutama di media sosial. Banyak yang berpendapat Gen Z adalah generasi yang memiliki banyak karakter positif, seperti dekat dengan teknologi, lebih toleran, suka tantangan, dan kreatif. Akan tetapi, tidak sedikit juga yang berpandangan negatif terhadap generasi ini.

Generasi yang lahir antara tahun 1997 dan 2012 ini disebut overdosis teknologi; mudah menyerah; dan penghasilan rendah, tetapi konsumtif; serta sederet karakter negatif lainnya. Singkatnya, Generasi Z berkarakter lemah. Di dunia kerja, Gen Z sering dicitrakan tidak becus bekerja dan dipandang buruk karena banyak dari mereka yang menganggur. Pertanyaannya, benarkah mereka berkarakter lemah? Ataukah itu hanyalah stigma?

Paling tidak, beberapa peristiwa besar yang terjadi belum lama ini bisa menjawab stereotip tersebut. Di berbagai tempat, warga asli digital ini telah dan sedang menggerakkan perubahan sosial.  Menariknya, aksi mereka bukan hanya di media sosial dan saluran-saluran digital, melainkan juga di jalanan.

Katalisator Perubahan Sosial

Di Amerika Serikat, Generasi Z menjadi pelopor dalam mendukung kemerdekaan Palestina—sebuah permasalahan yang belum mampu diselesaikan oleh generasi mana pun. Generasi muda Amerika Serikat menjadi motor penggerak aksi pro-Palestina di sana. Berbagai survei menunjukkan mayoritas Gen Z AS berpihak pada Palestina terlepas dari dukungan pemerintah AS terhadap Israel. Mereka tetap bergerak meskipun mendapatkan berbagai intimidasi dan ancaman, termasuk pembatalan tawaran pekerjaan.

Yang lebih dekat, Gen Z Bangladesh beberapa waktu lalu mengejutkan dunia dengan aksi mereka menuntut keadilan. Demonstrasi besar-besaran yang mereka lakukan bahkan dijuluki sebagai Revolusi Gen Z. Di Indonesia, kita baru saja menyaksikan penolakan terhadap aturan yang tidak berpihak kepada masyarakat banyak dilakukan oleh para mahasiswa dan pelajar yang merupakan Gen Z.

Objektif dan Memerhatikan Konteks

Fakta-fakta ini tentu menolak stigma bahwa Gen Z berkarakter lemah. Perubahan sosial tidak mungkin digerakkan oleh orang-orang yang mudah menyerah atau tidak tahan banting. Jangan-jangan, penilaian-penilaian negatif terhadap mereka selama ini cenderung merupakan bias generasi pendahulu.

Penilaian terhadap sesuatu setidaknya membutuhkan dua hal, yaitu objektivitas dan memerhatikan konteks. Salah satu perbincangan bernada negatif terhadap gen Z adalah ketidakbecusan di dunia kerja dan tingginya angka pengangguran. Sayangnya, penilaian itu kerap tidak disertai indikator yang jelas, seperti indikator kerja utama (IKU) atau KPI dan standar operasional prosedur (SOP) dan seringnya bersifat personal. Menolak bekerja di luar uraian kerja (job desk) atau jam kerja dianggap malas dan tidak mau mengambil peluang yang ada. Padahal, penolakan tersebut adalah bentuk kesadaran terhadap aturan-aturan ketenagakerjaan.

Kalaupun ada standar yang jelas dalam sebuah penilaian, belum tentu standar itu benar. Bisa saja acuan tersebut diterima saat ini, tapi tidak digunakan lagi nantinya. Contohnya, terkait dengan jam kerja, Australia baru saja mengesahkan undang-undang yang memberikan hak bagi para pekerja untuk menolak panggilan telepon, pos-el, dan kontak lainnya dari perusahaan di luar jam kerja.

Artinya, aturan ini mengoreksi “standar” sebelumnya, yaitu merespons kontak dari kantor di luar jam kerja dianggap hal yang normal. Terlebih setelah pandemi, batas antara rumah dan pekerjaan menjadi kabur sebagai akibat pola kerja dari rumah (WFH) yang menjadi tren.

Sementara itu, ketika berbicara tentang tingginya angka pengangguran di kalangan Gen Z, sebagian orang mengenyampingkan konteks dan faktor di luar Gen Z itu sendiri. Kesulitan mendapatkan pekerjaan dianggap sepenuhnya salah mereka. Padahal, ada banyak faktor yang turut menjadi penyebab, misalnya, minimnya lapangan pekerjaan serta ketidaksesuaian antara sistem pendidikan dan permintaan tenaga kerja.

Setiap generasi pasti memiliki karakteristik unik. Ada yang positif dan ada yang negatif. Lemahnya karakter sebuah generasi tidak serta-merta kesalahan generasi tersebut. Sebaliknya, kuatnya karakter sebuah generasi juga tidak sepenuhnya karena generasi itu sendiri. Ada faktor-faktor eksternal yang memengaruhi.

Generasi sebelumnya pun berperan penting dalam membentuk karakter generasi penerusnya. Yang lebih penting bukanlah mencari-cari kekurangan dan melebih-lebihkan generasi tertentu, tetapi menumbuhkan sikap saling memahami dan memaksimalkan aktualisasi karakter positif setiap generasi demi memberikan impak yang sebesar-besarnya bagi semua.

Penulis: Teuku Zulman Sangga Buana
Editor: Dewanti Nurcahyani

Rujukan:
Mckinsey.com. 2024. “What is Gen Z?”.
Ali Francis. 2022. “Gen Z: The workers who want it all”. BBC.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Close Search Window